Siapa dan Bagaimana Kartini Kini?

|

Kartini? Hampir lupa-lupa ingat aku akan nama itu. Namanya biasanya baru banyak disebut ya waktu bulan April saja. Di luar waktu itu, biasanya jarang diucap.

Aku pertama kali mengenal namanya waktu duduk di bangku sekolah SD. Lazim dimuat dalam buku pelajaran bersama para pejuang perempuan lainnya seperti Kristina Marta Tiahahu atau Cut Mutia (semoga aku tak salah tulis) dan superwoman lainnya.


Kartini kini lebih menjadi sebuah simbol. Simbol perjuangan yang dielu-elukan sebagai pendobrak kemajuan kaum perempuan. Sayangnya, simbol itu kemudian "membatu" dan fungsinya tak lebih dari itu.

Mungkin banyak orang yang tak setuju dengan pendapatku. Tidak jadi soal. Tapi kalau mau bicara realita emang begitu kok faktanya. Sampai sekarang harkat martabat perempuan nyatanya tidak banyak berubah.

Okelah boleh kau sebut Sri Mulyani yang sebentar lagi didapuk jadi Direktur Pelaksana World bank. Atau sekelompok wanita-wanita lain yang punya peran vital di negara ini. Tapi secara umum kalau mau diakui, tak ada perubahan berarti bagi kemajuan wanita Indonesia kini.

Betul memang siapa saja tidak peduli laki-laki atau perempuan boleh jadi apa saja. Tanpa ada yang melarang. Tapi masyarakat serta budaya kita sebenarnya masih memandang perempuan dalam posisi yang tidak sejajar.

Kau mungkin mau mengelak. Tapi memang begitu faktanya. Kaum perempuan masih jauh dari "berdaya" sampai harus dibuatkan kementrian khusus yang mengaturnya. Masih banyak peraturan di negeri ini yang sangat tidak adil bagi perempuan. Tanpa harus kurinci, kuyakin kau sudah tahu.

Yang jelas, Kartini harus "dihidupkan" kembali. Bukan hanya dielu-elukan saat bulan April tiba saja. Tapi setiap harinya, spiritnya dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Bukan hanya bagi perempuan, kaum laki pun wajib memperjuangkannya.

Bukan buat menang-menangan gender kok. Tapi buat bangsa ini agar lebih baik lagi. Agar kehidupan kita setiap hari tak melulu dibuat gontok-gontokan, kuat-kuatan okol. Kalau spirit Kartini benar diimplementasikan, kuyakin tak bakal ada lagi tawuran, kerusuhan, atau perang antar sesama yang hanya mengundang pilu hati.


Untuk inspiring women blogdetik. Baca terus...

Patung Obama dan "Benteng" yang Bergoyang itu

|

Pro kontra patung Obama kecil di kawasan Menteng Jakarta adalah cermin tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Seperti diberitakan Ranesi dalam berita berjudul "Ribut-ribut Soal Patung Obama Kecil", 14 Desember 2009, keberadaan patung Obama kecil di Jakarta mengundang timbulnya silang pendapat. Ada yang setuju, tidak sedikit yang menentang.

Yang setuju menilainya sebagai bagian dari multikulturalisme global. Sebaliknya penentangnya menganggap hal itu menodai nasionalisme. Mana yang benar?

Bicara benar-salah untuk soal semacam ini hanya akan membuat kebingungan yang tak berujung. Kurang lebih secara ekstrim bisa disetarakan dengan pertanyaan "lebih dulu mana antara telur dengan ayam?" Yang satu akan kukuh memegang pendapatnya, dan kubu yang lain akan melakukan yang sama diiringi dengan sejuta alasan yang ada di belakangnya.

Demokrasi yang tumbuh subur di negeri ini memang meniscayakan adanya kebebasan berpendapat. Kebebasan itu minimal menciptakan dua kutub yang bisa saling bertentangan. Implikasi yang wajar dan patut dihargai dalam iklim demokrasi yang kondusif seperti sekarang.

Benteng
Namun, membicarakan nasionalisme itu sendiri tidak lepas dari perspektif. Ibaratnya nasionalisme itu seperti "benteng". Bagiu penulis, sebagai "benteng", nasionalisme tidak semata penanda batas antara yang di dalam sini dengan yang di luar sana. Benteng sekaligus garis pertahanan terdepan yang bisa menjadi titik awal untuk melakukan penyerangan atau pertahanan.

Akan tetapi di era global seperti sekarang, "benteng" tidak statis dan sekaku seperti tembok besar Cina. "Benteng nasionalisme" lebih fleksibel dan tidak didominasi dengan material yang berasal dari bata, beton, atau benda-benda padat lainnya. Melainkan benteng itu lebih banyak berisi pintu dan jendela. Yang membuat orang yang di dalam sini bisa melihat atau pergi keluar sana dengan leluasa. Serta sebaliknya membuat yang di luar sana bisa masuk ke dalam sini dengan tangan terbuka.

Dari perspektif di atas, terkait patung kecil Obama, saya pribadi cenderung lebih setuju atas pendiriannya. Bukan semata hanya karena soal "benar-salah" dan sejuta alasan yang bisa dimunculkan guna mendukung atau menolaknya. Namun saya lebih melihatnya dari manfaat yang bisa dipetik dari pendirian patung tersebut.

Manfaat yang ditimbulkan bukan sekedar dari memperlancar hubungan kedua negara, tetapi secara internal akan menyemai dan menguatkan bibit multikulturalisme dan pluralisme. Dari Jakarta--kota yang pernah menjadi tempat tinggal Barry (Obama kecil) serta kota padat penduduk yang dihuni oleh berbagai macam ras dari seluruh nusantara dan dunia--pesan pentingnya keberagaman itu dikirimkan.

Keberagaman itu menciptakan adanya saling pengertian, memperluas horison wawasan, mempererat hubungan, dan semua itu bermuara pada terciptanya kedamaian.

Upaya perdamaian bisa dimulai dari mana pun, lewat upaya sekecil apapun. Meski juga hanya dari sebuah patung seorang anak yang pernah bersekolah di Indonesia dan kemudian menjadi Presiden di Amerika Serikat.

Ingat, kita tidak pernah bisa hidup seorang diri. Luasnya pergaulan dan interaksi akan memudahkan bangsa ini untuk menemukan jalan masa depannya yang lebih baik lagi.
Baca terus...