Rumah Hijau Impianku – part 2

|


Syahdan seperti dikisahkan aku tengah mengimpikan memiliki sebuah rumah hijau. Moga tidak perlu jin iprit yang keluar dari lampu Aladin untuk mewujudkannya…

Seperti kubilang sebelumnya rumah hijau impianku adalah rumah ramah lingkungan atawa tidak bengis pada alam. Namun aku masih bingung bagaimana desainnya?

Sementara yang kudengar, para desainer atau arsitek di negeri ini kebanyakan belum green design thinking. Atawa dengan kalimat tegas para arsitek suka ngedesain yang mengakibatkan kerusakan alam.

Contoh sederhana begini. Di rumah-rumah kos-kosan sekitar kampusku, mudah ditemui kos-kosan yang pengap atawa aliran udaranya buruk akibat jendela yang cuma sebiji yang biasanya berdempet dengan pintu masuk. Maksimalisasi pencahayaan matahari juga kurang. Sering aku temui kamar-kamar kos yang guuuulap gulita di tengah siang bolong akibat tidak bagusnya pencahayaan. Akibatnya siang bolong musti ngidupin lampu yang listriknya dihidupin dari bahan bakar kakek moyang fosil-fosil purba…

Alamakk!!

Pantes kalau kemudian aku mesti gerah kepanasan tiap hari gara-gara hal-hal yang mungkin bagi kita sepele amit-amit ini. Sampai bosan dengan berita bencana macam banjir, tanah longsor, angin ribut dkk yang tayang rutin—kayak jadwal ronda—di layar kaca.

Panas yang makin meninggi sekarang sebenarnya ulah kita juga. Dari koleksi barang-barang elektronik yang banyak nyedot energy sampai terus-menerus mengandalkan plastik dalam hampir segala kegiatan sehari-hari.

Selain kita mulai ikut berperan menghadang pemanasan global, aku pun berharap para arsitek kita atau desainer atau apalah namanya mau mulai berpikir ke arah sana pula. Ke green design thinking. Bahwa bumi ini bukan milik kita. Bumi ini titipan yang akan terus diwariskan sampai anak-cucu-cicit ke-9 kita kelak.

Ah.. tapi aku mampu memiliki rumah hijau impianku?

Mengapa tidak? Kalau setiap orang sadar bahwa rumah hijau itu menguntungkan semua pihak. Bukan cuma bagiku, bagi pemerintah, bagi pengembang rumah, serta jelas bagi masa depan bumi tempat kita tinggal ini.

Pemerintah tidak perlu menggelontorkan dana penanggulangan bencana yang berasal dari pajak rakyat itu. Pengembang dapat menjalankan usaha lebih lama sebelum kiamat terjadi. Dan kita semua bisa hidup lebih nyaman di bumi ini.

Pemerintah harus mulai bergerak agar kiamat tidak dimulai dari negeri ini. Aku butuh rumah hijau. Kamu juga kan?

Pengembang perumahan yang mau usahanya sustainable harus mulai melirik konsep rumah hijau impianku. Ini arah bisnis properti berikutnya yang semestinya ditangkap baik oleh para pengembang perubahan. Eco-design atau apalah namanya. Sebuah pembangunan yang ramah dan bersahabat dengan alam.

Penjual rumah yang mau laris jualannya harus mulai buka mata. Konsep rumah hijau impianku bukan tren macam makanan organik yang harganya setinggi langit.

Kukatakan tegas,” rumah hijau tidak kudu mahal!”

Sangat murah bahkan. Karena bahan-bahannya ada di sekitar kita. Rumah di desa-desa yang kita anggap ketinggalan jaman adalah prototipe sempurna dari masa silam untuk konsep rumah hijau. Cukup dibuat gedhek atau anyaman bambu, beralaskan tanah, dan berjamban di atas kali atau kolam yang ketika bunyi “plung” terdengar satwa air berebut mengisi perutnya. Itulah contoh sempurna warisan kakek-nenek moyang kita tentang rumah hijau impianku.

Kukatakan lagi, rumah hijau impianku tidak perlu besar. Mungil sajalah, maksimal seluas lapangan basket. Yang penting hijau. Di sekeliling rumah hijau impianku kan kutanam banyak tumbuhan. Agar sejuk. Tidak panas waktu panas menyerang. Maka seperti kukatakan tadi, pohon beringin menjadi pilihanku. Sekalipun seram mungkin, tapi beringin itu simbol pohon yang kokoh, tegak berdiri tidak mudah di-KO-kan angin dan berumur panjang.

Sekalipun kusebut rumah hijau impianku, tapi bukan hanya tanaman hijau yang kutanam. Banyak tanaman lain seperti cabe warna merah atau terong ungu menghiasi kebun belakang rumahku. Maksudku, ini sekaligus buat menyokong aktivitas dapur. Sesedikit tanaman dari kebun sendiri pasti akan banyak membantu kebul asap dapur kelak.

Bukan lagi 60:40 perbandingan luas bangunan dengan lahan hijau. Tapi 50:50. Itu membuat lingkunganku punya ruang juga untuk hidup, untuk bernapas.

Sekalipun belum jelas kapan aku memiliki rumah hijau impianku, namun aku optimis bisa memilikinya. Pasti. Suatu saat nanti.

Bayangkan jika aku punya rumah hijau impianku. Tiap hari udara segar mengalir lewat pintu dan jendela sampai akhirnya masuk ke dalam hidungku. Saat musim hujam tiba, rumahku tetap hangat. Waktu musim panas, sejuk yang kurasa.

Bayangkan itu kawan-kawan…!!

Aku percaya rumah hijauku itu tidak hanya hijau pada awal mulanya. Namun akan terus dan semakin hijau dalam segala aspeknya. Sampai membuat pikiran serta hatiku semakin hijau (baca: fresh). Karena rumah hijau impianku dibangun dengan cinta dan kasih sayang yang meletup-letup tiada habis.

Aku percaya dengan perkataan Christian Morganstern. “Home is not where you live, but where they understand you”

Yah…kami—aku dan rumah hijau impianku—saling memahami satu sama lain. Saling menghormati serta saling melindungi. Rumah tempat aku merasakan damai dan tenang. Satu-satunya tempat dimana aku tidak perlu pakai sepatu. Itulah rumah hijau impianku…

(sumber gambar: http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2008/05/01.jpg) Baca terus...

Rumah Hijau Impianku

|


Tidak ada kaitannya sama sekali dengan band hijau daun yang lagunya dinyanyikan Luna Maya itu. Juga tidak berhubungan dengan kura-kura ninja yang pakai seragam ijo. :)

Aku hanya ingin punya rumah hijau. Bukan rumah hijau yang dipakai buat membudidayakan tanaman yang terbuat dari kaca atau plastik itu maksudku, melainkan sebuah rumah yang ramah lingkungan dan ramah bagi penghuni dan makhluk-makhluk sekitarnya.

Rumah hijau impianku nanti tidak ber-AC. Udara segar hadir dari pengaturan aliran udara yang menerobos masuk ke setiap ruang dalam rumah hijau impianku.

Rumah hijau impianku tidak megah bak istana presiden. Mungil saja. Luas tanah maksimal tidak lebih dari luas lapangan bola basket. Meski mungil namun rumah hijau impianku itu adalah istanaku.

Rumah hijau impianku banyak terbuat dari bahan-bahan alami. Memang tidak secara ekstrem aku menolak semen, tapi pemaksimalan penggunaan bahan alam seperti bambu pasti akan banyak kupakai.

Bambu, seperti kata Prima Haris Nuryawan, seorang pembicara talkshow bertema green design green living yang kuikuti senin lalu tidak kalah kuat dengan beton. Dikisahkannya, pada sebuah jembatan kuno warisan belanda yang dibongkar beberapa waktu lalu ditemukan sama sekali tidak memakai beton. Namun di dalamnya memakai bambu.

Ajaibkah? Kupikir tidak… kuyakin Tuhan sudah menganugerahkan bumi beserta isinya secara komplit.

Di rumah hijau impianku, aku becita-cita air dan listrik diproduksi sendiri. Apakah aku mampu memakai solar panel penyerap energi matahari yang mahal itu? Semoga ada teknologi lanjutan yang lebih murah muriah.

Di rumah hijau impianku kubuat pekarangan dengan tumbuhan besar yang bisa mengurangi cahaya matahari masuk rumah. Inginnya kutanami beringin. Namun aku tidak tahu apa mudah mendapatnya. Jika beringin tidak kudapat, mungkin kuganti mangga sajalah. Biar kalau panen aku bisa rujakan sampai perut mules. Whahaha…

Namun waktu seminar kemarin, kata para developer,” green itu costly. Mahal. jer basuki mawa bea.”

Oh my God!!

Apa aku mampu memiliki rumah hijau impianku?

(Sumber gambar http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2008/05/02.jpg) Baca terus...

Terpesona Mozart

|

Terpesona aku mendengar musik Mozart pagi ini. Romanse Andonie begitu menyentuh sampai ke dalam lubuk hatiku.

Pagi yang tenang diiringi musik mozart menjadi sangat sempurna. sayang kurang kopi.

ah tapi tak apalah...

kafein itu sudah tergantikan musik mozart.
Baca terus...

Membongkar Sindikat Joki Beras

|

“Teng teng teng teng” Bel istirahat berbunyi. Siswa kelas 9D berhamburan keluar.

Mereka berebut keluar kelas. Tak berapa lama, kelas jadi sepi. Sementara, di dalam kelas, Adi masih terduduk di bangkunya.

“Di ke kantin yuk!” ajak Santo yang sudah ada di pintu.

“Males San,” jawab Adi.

Mendengar jawaban yang tidak biasanya itu, Santo lalu mendekati tempat duduk Adi.

“Ada apa? Sakit ya?” tebak Santo.

“Nggak. Lagi males ke kantin,” jawab Adi.

“Ooo... pasti kamu masih pusing karena pelajaran ekonomi tadi ya. Nggak usah dipikir serius. Permintaan siswa yang meningkat terhadap gorengan tidak akan membuat harga gorengan makin mahal,” kata Santo sambil tertawa. “Ya sudah kalau memang mau di sini, aku ke kantin dulu ya,” lanjut Santo.

Sejak seminggu terakhir, Adi memang sering melamun. Ia pusing memikirkan uang saku yang dikurangi orangtuanya. “Uang saku yang dulu saja hanya cukup membeli sebuah gorengan dan segelas es. Sekarang dengan Rp 400, apa yang bisa kubeli?” kata Adi dalam hati.

Maklum saja, orangtua Adi berasal dari keluarga miskin. Ayahnya hanya tukang becak. Ibunya tukang cuci baju tetangga. Sementara, harga kebutuhan pokok terus melonjak. Apalagi dengan melambungnya harga beras akhir-akhir ini. Beras yang dulunya Rp 4 ribu perkilo, kini menjadi Rp 6 ribu. Akibatnya, uang saku Adi dikurangi. Menghadapi hal itu, Adi hanya bisa menerima.

Beberapa jam kemudian, bel kembali berdentang. Pelajaran telah usai. Seperti biasanya, Adi pulang dengan naik sepeda bututnya. “Di, aku bonceng ya?” pinta Santo yang tiba-tiba ada di depannya. Adi mengangguk.

Di tengah perjalanan pulang, mereka melihat kerumunan orang mengelilingi tiga truk operasi pasar beras murah di Pasar Waru. Sejenak mereka berhenti menyaksikannya. “Aku bingung San. Padahal operasi pasar gencar dilakukan, tapi kenapa harga beras kok tidak turun-turun ya?” gumam Adi. Santo hanya menggeleng.

Lalu mereka berniat melanjutkan perjalanan pulang. Tapi baru akan mengayuh pedal sepedanya, tatapan Adi tertumbuk pada dua buah truk yang parkir di timur pasar. “Ngapain ya kedua truk itu, rasanya ada yang aneh?” kata Adi dalam hati.

Sepintas pikirannya melayang ke tayangan berita televisi kemarin petang tentang joki beras. Joki beras itu suruhan pedagang beras untuk membeli beras. Akibatnya, harga beras tetap tidak turun. “Jangan-jangan...” duga Adi.

Esoknya, setelah pulang sekolah, Adi dan Santo kembali melewati Pasar Waru. Sampai di pasar, di bawah pohon yang rindang, mereka berhenti sejenak mengamati operasi pasar beras. Empat buah truk yang membawa beras murah itu masih dikerumuni pembeli.
Tak berapa lama, di luar area pasar sebelah timur, dua buah truk berhenti. Puluhan orang turun dari truk itu. Adi yang dari tadi mengamatinya berseru kepada Santo,”Lihat San! Itu mereka yang kemarin.” Santo yang dari tadi asyik mengamati operasi pasar beras mengalihkan pandangannya.

Lalu, Adi menyeret tangan Santo. Mereka menuju truk itu. Mereka pura-pura berjalan di antara kerumunan orang itu. “Cepat, segera menuju sasaran,” seorang lelaki bertampang garang berseru kepada orang-orang yang turun dari truk. “Empat tiga tiga empat,” kata lelaki itu lagi.

Mendengar suara yang keras itu, bulu kuduk Adi dan Santo menjadi merinding. Lalu mereka menyingkir menjauh. “Apa maksud ucapan lelaki itu Di?” tanya Santo.

“Aku juga tidak tahu. Tapi mereka pasti joki suruhan untuk memborong beras. Karena itu pantas saja harga beras tidak turun-turun,” gerutu Adi.

“Lalu bagaimana?” tanya Adi bingung. Tanpa menjawab, Adi kembali menarik cepat tangan Santo. Lalu mereka berlari menuju sepeda yang ditinggalkannya tadi. Kemudian dikayuhnya sepeda itu dengan kencang menuju rumah Adi.

Begitu sampai di rumah, Adi langsung ke bagian belakang rumahnya. Santo dari belakang membuntutinya. Adi mencari kaleng cat bekas yang dulu dipakainya untuk pelajaran menggambar. Setelah didapatkannya, Adi memasukkannya ke dalam tas bersama paku, palu, dan tali rafia. Lalu ia kembali menarik tangan Santo.

“Di, tunggu Di. Aku capek. Istirahat sebentar ya,” kata Santo yang kelelahan karena perutnya yang gendut. “Istirahatnya nanti saja. Kita harus segera kembali ke sana,” jawab Adi sambil menyeret tangan Santo.

Mereka pun kembali berboncengan. Di antara kendaraan yang lalu-lalang, Adi mengayuh sepeda sekuat tenaga. “Di pelan-pelan Di...” pinta Santo yang ketakutan melihat Adi mengendarai sepeda seperti dikejar setan.

Sampai di pasar, Adi masih terus melaju. “Lho Di mau kemana?” tanya Santo. Pertanyaan itu tidak diperdulikannya, Adi terus mengayuh mendekati dua truk yang ada di sebelah timur pasar. Dilewatinya kedua truk itu. Nampak lelaki yang memberi komando tadi ada di sana. Ia bersama dua kawannya.

Kemudian sekitar 200 meter dari truk itu, sepeda dihentikan Adi. Setengah melompat, Adi kemudian menuntun sepedanya dan meletakkannya di semak-semak. “Di..Di.. kita mau ngapain di sini?” tanya Santo yang nafasnya masih terengah-engah.

“Ini tolong pegang,” jawab Adi sambil menyodorkan dua kaleng cat. ”Isinya masih lumayan banyak,” tambah Adi. Santo yang tidak mengerti maksudnya, mengikuti saja permintaan Adi. Dari dalam tasnya, Adi mengambil paku, palu, dan tali rafia. Lalu kedua tutup kaleng itu dilubangi kecil. Dan kemudian diikatkannya dengan tali rafia.

“Ya sekarang siap beraksi,” kata Adi puas. Santo masih tak mengerti apa yang akan dilakukan Adi.

“San, kita sekarang bagi tugas. Truk yang kanan bagianku, kamu yang satunya. Talikan kaleng ini di bawah truk. Ikat yang kuat. Hati-hati. Jangan sampai ketahuan,” kata Adi sambil menyodorkan sekaleng cat.

Santo yang masih bingung terpaksa menerimanya. “Yoo.. action!” kata Adi sambil mengepalkan tangan. Santo pun ikut-ikutan mengepalkan tangan. Kemudian Adi mulai merangkak mendekati sasaran. Sementara Santo ada beberapa langkah di belakangnya. Dengan mengendap-endap, sesekali tiarap, ibarat tentara di medan laga mereka menuju sarang musuh.

Setelah bersusah payah, akhirnya Adi berhasil mengikatkan kaleng cat itu ke tubuh truk. Santo juga berhasil. Tapi ia kesulitan keluar dari tubuh truk. Perutnya terlalu gendut.

“Hei kamu ngapain di sini!” bentak salah seorang lelaki sambil mendekati Santo. Mendengar gertakan itu, muka Santo merah padam.

“Nah, kena kemu San!!!” tiba-tiba saja Adi ada di dekatnya. ”Giliran aku yang ngumpet, kamu yang cari hehe...” teriak Adi. Lelaki yang tadi bermaksud mendekati Santo berbalik arah. Dia mengira mereka sedang main petak-umpet.

Tak berapa lama kemudian, Adi dan Santo mengayuh sepedanya lagi. Lalu berhenti di kantor polisi. Setelah itu mereka menjelaskan peristiwanya. Segera saja tiga regu polisi berangkat menuju tempat lokasi. Dengan dibantu petunjuk Adi dan Santo, mereka sampai ke lokasi parkir truk tadi.

Tapi sayang, kedua truk itu telah pergi. Maka kemudian langsung disusuri jejak truk itu lewat ceceran cat tadi. Akhirnya, polisi berhasil menangkap sindikat joki beras itu di sebuah gudang di pinggiran kota. Termasuk juga pimpinannya.

Dengan terbongkarnya sindikat beras itu, maka harga beras kembali normal. Adi dan Santo menjadi terkenal. Nama mereka muncul di koran-koran. Para guru dan teman sekolah menyanjung mereka. Orangtua juga membanggakan mereka. Tapi yang lebih penting dari itu semua, bagi Adi uang sakunya kini kembali seperti semula.
Baca terus...

Junior

|

Ibuku punya kucing. Namanya Junior. Warnanya putih polos. Matanya berwarna hitam kebiru-biruan. Ekornya pendek. Masih lebih panjang telapak tanganku. Kata ayah, kucing ini jenisnya anggora. Aku tak paham apa maksudnya.

Ayah membelinya di Bandung. Waktu itu, ayah sedang ada tugas kantor di sana. Sebenarnya sudah lama ibu ingin punya kucing. Tapi ayah baru bisa membelikannya dua bulan lalu.

Kucing ibuku itu suka berlari dan meloncat. Waktu pertama kali dibawa ke rumah, Junior langsung berlari masuk rumah. Lalu meloncat ke sofa. Hampir saja dia menjatuhkan vas bunga yang ada di meja. Untung saja, ayah dengan cepat memegang vas bunga itu.

Kadang Junior juga suka mencakar dan menggigit. Teman mainku, Dino, ketika mau memegang leher Junior, nyaris dicakarnya. Aku juga pernah. Waktu mau menghitung kumisnya, aku hampir digigitnya. Tapi sebelumnya aku sudah berhasil menghitung jumlah kumisnya. Yang di pipi kiri ada delapan helai, dan yang di pipi kanan ada tujuh helai.

Kucingku nakal. Suka mengganggu ketika aku sedang bermain. Sehingga sering mainanku-mainanku jadi berantakan. Bahkan, pernah robot kesayanganku patah karena digigitnya, eh tidak, karena dinjaknya. Aku jadi nangis dibuatnya. Tapi esoknya ayah membelikan robot baru untukku.

Pernah juga Junior minum susu milikku. Ceritanya, ketika aku mau minum susu, aku tinggal sebentar ke kamar mandi. Tapi begitu kembali, eh ternyata Junior sedang mencicipi susu kental manis kesukaanku. Sejak itu, aku jadi nggak suka minum susu.
Waktu aku bilang ke ibu kalau Junior nakal, ibu cuma tersenyum. Rasanya Ibu lebih sayang Junior daripada aku. Hampir setiap bertemu Junior, Ibu selalu membelai lehernya. Sementara, Ibu jarang membelai leherku.

Aku juga sudah lapor ke ayah kalau Junior nakal. Tapi ayah cuma bilang begini,“Kalau Junior nakal, dicubit saja.” ”Bagaimana mau mencubit Junior Yah, nanti malah aku yang digigitnmya,” protesku.

Sambil menggendongku, Ayah cuma tertawa mendengar jawabanku.

Karena benci Junior, pernah aku minta ke Bi Inah, pembantuku, untuk membuangnya ke pasar. Tapi Bi Inah tidak berani. Ibuku bisa marah kalau tahu. Aku pun tak berani membuangnya sendiri. Bukan karena takut dimarahi ibu, tapi karena aku tak kuat mengangkat Junior.

Lalu, suatu hari, ayah dan ibu pergi ke luar kota untuk menengok nenek yang sakit. Aku tak diajak karena baru sembuh dari sakit. Aku ditinggal bersama Bi Inah dan Junior.

Sebelum berangkat, Ibu berpesan padaku,” Baik-baik ya dengan Junior. Jangan bertengkar terus. “ “Junior juga jangan nakal,” pesan Ibu juga kepada Junior.
Aku beruntung, hari itu Junior tidak nakal. Dia hanya duduk saja di pojok kamarku. Sambil sesekali menggerak-gerakkan ekornya dan menjilat-jilat kakinya. Sepertinya dia mematuhi pesan ibuku tadi. Sampai malam tiba, Junior masih baik-baik saja. Dia tidak banyak tingkah atau polah.

Karena mengantuk, aku tidur terlebih dahulu. Sebelumnya aku sempat bilang Junior,”Aku tidur dulu ya Junior. Nanti kalau kamu mau tidur, boleh tidur di sampingku. Tapi jangan ngompol lho.”

Saat tengah malam, aku terjaga. Aku mendengar suara aneh dari kamar ayah dan ibu. Kulihat Junior tidur di sampingku. Kupegang kasur tempat Junior tidur. Tidak basah. Kali ini, dia patuh untuk tidak ngompol.

Karena penasaran dengan suara tadi, aku bangun. Aku menuju kamar ayah. Aku kaget, di sana ada laki-laki dewasa yang berusaha membuka paksa lemari ayah. Cepat aku mencoba sembunyi di balik kursi. Tapi orang itu melihatku. Dia lalu menuju ke arahku. Aku takut. Tidak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba, orang itu sudah ada di depanku dan memegangiku dengan kuat. aku tak bisa bergerak. Tangan kanan orang itu juga menutupi mulutku dengan plester. Lalu dia mengikat tangan dan kakiku. Lalu meletakkanku di atas sofa. Aku mau menangis. Teringat ayah dan ibu.

Sementara, pencuri itu masih berada di kamar ayah. Tapi tiba-tiba. “Aaauuwww....” pencuri itu menjerit. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Sepertinya pencuri itu merasa kesakitan. Dan kudengar juga suara Junior dari kamar itu.

Mendengar suara kesakitan itu, tetangga-tetanggaku berdatangan. Dengan cepat mereka menangkap pencuri itu. Serta menyelamatkanku. Setelah itu, si pencuri dibawa ke polisi.

Esok harinya, ketika ayah dan ibu datang, aku ceritakan semuanya. Termasuk kehebatan Junior melawan pencuri. Junior hanya mengeong-ngeong saja mendengar ceritaku.

Sejak itu aku jadi sayang pada Junior. Meski sedikit nakal, tapi Junior kucing yang pemberani dan lucu. Aku berjanji akan selalu menyayanginya. Dan sejak itu pula aku kembali suka minum susu.
Baca terus...