“Teng teng teng teng” Bel istirahat berbunyi. Siswa kelas 9D berhamburan keluar.
Mereka berebut keluar kelas. Tak berapa lama, kelas jadi sepi. Sementara, di dalam kelas, Adi masih terduduk di bangkunya.
“Di ke kantin yuk!” ajak Santo yang sudah ada di pintu.
“Males San,” jawab Adi.
Mendengar jawaban yang tidak biasanya itu, Santo lalu mendekati tempat duduk Adi.
“Ada apa? Sakit ya?” tebak Santo.
“Nggak. Lagi males ke kantin,” jawab Adi.
“Ooo... pasti kamu masih pusing karena pelajaran ekonomi tadi ya. Nggak usah dipikir serius. Permintaan siswa yang meningkat terhadap gorengan tidak akan membuat harga gorengan makin mahal,” kata Santo sambil tertawa. “Ya sudah kalau memang mau di sini, aku ke kantin dulu ya,” lanjut Santo.
Sejak seminggu terakhir, Adi memang sering melamun. Ia pusing memikirkan uang saku yang dikurangi orangtuanya. “Uang saku yang dulu saja hanya cukup membeli sebuah gorengan dan segelas es. Sekarang dengan Rp 400, apa yang bisa kubeli?” kata Adi dalam hati.
Maklum saja, orangtua Adi berasal dari keluarga miskin. Ayahnya hanya tukang becak. Ibunya tukang cuci baju tetangga. Sementara, harga kebutuhan pokok terus melonjak. Apalagi dengan melambungnya harga beras akhir-akhir ini. Beras yang dulunya Rp 4 ribu perkilo, kini menjadi Rp 6 ribu. Akibatnya, uang saku Adi dikurangi. Menghadapi hal itu, Adi hanya bisa menerima.
Beberapa jam kemudian, bel kembali berdentang. Pelajaran telah usai. Seperti biasanya, Adi pulang dengan naik sepeda bututnya. “Di, aku bonceng ya?” pinta Santo yang tiba-tiba ada di depannya. Adi mengangguk.
Di tengah perjalanan pulang, mereka melihat kerumunan orang mengelilingi tiga truk operasi pasar beras murah di Pasar Waru. Sejenak mereka berhenti menyaksikannya. “Aku bingung San. Padahal operasi pasar gencar dilakukan, tapi kenapa harga beras kok tidak turun-turun ya?” gumam Adi. Santo hanya menggeleng.
Lalu mereka berniat melanjutkan perjalanan pulang. Tapi baru akan mengayuh pedal sepedanya, tatapan Adi tertumbuk pada dua buah truk yang parkir di timur pasar. “Ngapain ya kedua truk itu, rasanya ada yang aneh?” kata Adi dalam hati.
Sepintas pikirannya melayang ke tayangan berita televisi kemarin petang tentang joki beras. Joki beras itu suruhan pedagang beras untuk membeli beras. Akibatnya, harga beras tetap tidak turun. “Jangan-jangan...” duga Adi.
Esoknya, setelah pulang sekolah, Adi dan Santo kembali melewati Pasar Waru. Sampai di pasar, di bawah pohon yang rindang, mereka berhenti sejenak mengamati operasi pasar beras. Empat buah truk yang membawa beras murah itu masih dikerumuni pembeli.
Tak berapa lama, di luar area pasar sebelah timur, dua buah truk berhenti. Puluhan orang turun dari truk itu. Adi yang dari tadi mengamatinya berseru kepada Santo,”Lihat San! Itu mereka yang kemarin.” Santo yang dari tadi asyik mengamati operasi pasar beras mengalihkan pandangannya.
Lalu, Adi menyeret tangan Santo. Mereka menuju truk itu. Mereka pura-pura berjalan di antara kerumunan orang itu. “Cepat, segera menuju sasaran,” seorang lelaki bertampang garang berseru kepada orang-orang yang turun dari truk. “Empat tiga tiga empat,” kata lelaki itu lagi.
Mendengar suara yang keras itu, bulu kuduk Adi dan Santo menjadi merinding. Lalu mereka menyingkir menjauh. “Apa maksud ucapan lelaki itu Di?” tanya Santo.
“Aku juga tidak tahu. Tapi mereka pasti joki suruhan untuk memborong beras. Karena itu pantas saja harga beras tidak turun-turun,” gerutu Adi.
“Lalu bagaimana?” tanya Adi bingung. Tanpa menjawab, Adi kembali menarik cepat tangan Santo. Lalu mereka berlari menuju sepeda yang ditinggalkannya tadi. Kemudian dikayuhnya sepeda itu dengan kencang menuju rumah Adi.
Begitu sampai di rumah, Adi langsung ke bagian belakang rumahnya. Santo dari belakang membuntutinya. Adi mencari kaleng cat bekas yang dulu dipakainya untuk pelajaran menggambar. Setelah didapatkannya, Adi memasukkannya ke dalam tas bersama paku, palu, dan tali rafia. Lalu ia kembali menarik tangan Santo.
“Di, tunggu Di. Aku capek. Istirahat sebentar ya,” kata Santo yang kelelahan karena perutnya yang gendut. “Istirahatnya nanti saja. Kita harus segera kembali ke sana,” jawab Adi sambil menyeret tangan Santo.
Mereka pun kembali berboncengan. Di antara kendaraan yang lalu-lalang, Adi mengayuh sepeda sekuat tenaga. “Di pelan-pelan Di...” pinta Santo yang ketakutan melihat Adi mengendarai sepeda seperti dikejar setan.
Sampai di pasar, Adi masih terus melaju. “Lho Di mau kemana?” tanya Santo. Pertanyaan itu tidak diperdulikannya, Adi terus mengayuh mendekati dua truk yang ada di sebelah timur pasar. Dilewatinya kedua truk itu. Nampak lelaki yang memberi komando tadi ada di sana. Ia bersama dua kawannya.
Kemudian sekitar 200 meter dari truk itu, sepeda dihentikan Adi. Setengah melompat, Adi kemudian menuntun sepedanya dan meletakkannya di semak-semak. “Di..Di.. kita mau ngapain di sini?” tanya Santo yang nafasnya masih terengah-engah.
“Ini tolong pegang,” jawab Adi sambil menyodorkan dua kaleng cat. ”Isinya masih lumayan banyak,” tambah Adi. Santo yang tidak mengerti maksudnya, mengikuti saja permintaan Adi. Dari dalam tasnya, Adi mengambil paku, palu, dan tali rafia. Lalu kedua tutup kaleng itu dilubangi kecil. Dan kemudian diikatkannya dengan tali rafia.
“Ya sekarang siap beraksi,” kata Adi puas. Santo masih tak mengerti apa yang akan dilakukan Adi.
“San, kita sekarang bagi tugas. Truk yang kanan bagianku, kamu yang satunya. Talikan kaleng ini di bawah truk. Ikat yang kuat. Hati-hati. Jangan sampai ketahuan,” kata Adi sambil menyodorkan sekaleng cat.
Santo yang masih bingung terpaksa menerimanya. “Yoo.. action!” kata Adi sambil mengepalkan tangan. Santo pun ikut-ikutan mengepalkan tangan. Kemudian Adi mulai merangkak mendekati sasaran. Sementara Santo ada beberapa langkah di belakangnya. Dengan mengendap-endap, sesekali tiarap, ibarat tentara di medan laga mereka menuju sarang musuh.
Setelah bersusah payah, akhirnya Adi berhasil mengikatkan kaleng cat itu ke tubuh truk. Santo juga berhasil. Tapi ia kesulitan keluar dari tubuh truk. Perutnya terlalu gendut.
“Hei kamu ngapain di sini!” bentak salah seorang lelaki sambil mendekati Santo. Mendengar gertakan itu, muka Santo merah padam.
“Nah, kena kemu San!!!” tiba-tiba saja Adi ada di dekatnya. ”Giliran aku yang ngumpet, kamu yang cari hehe...” teriak Adi. Lelaki yang tadi bermaksud mendekati Santo berbalik arah. Dia mengira mereka sedang main petak-umpet.
Tak berapa lama kemudian, Adi dan Santo mengayuh sepedanya lagi. Lalu berhenti di kantor polisi. Setelah itu mereka menjelaskan peristiwanya. Segera saja tiga regu polisi berangkat menuju tempat lokasi. Dengan dibantu petunjuk Adi dan Santo, mereka sampai ke lokasi parkir truk tadi.
Tapi sayang, kedua truk itu telah pergi. Maka kemudian langsung disusuri jejak truk itu lewat ceceran cat tadi. Akhirnya, polisi berhasil menangkap sindikat joki beras itu di sebuah gudang di pinggiran kota. Termasuk juga pimpinannya.
Dengan terbongkarnya sindikat beras itu, maka harga beras kembali normal. Adi dan Santo menjadi terkenal. Nama mereka muncul di koran-koran. Para guru dan teman sekolah menyanjung mereka. Orangtua juga membanggakan mereka. Tapi yang lebih penting dari itu semua, bagi Adi uang sakunya kini kembali seperti semula.
Membongkar Sindikat Joki Beras
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar